Selasa, 26 Juni 2007

Mengapa Kita Harus Bersatu

Oleh: DR. Amir Faishol Fath


Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk (Ali Imran: 103)

Bersatu Mentaati Allah dan Rasul-Nya

Setelah memerintahkan untuk bertaqwa pada ayat sebelumnya Allah memerintahkan umat Islam untuk bersatu dalam mentaati ajaran-Nya. Allah berfirman wa’tashimuu bihablillahi jamii’an artinya berpegang teguhlah kamu semua kepada tali Allah. Maksud tali Allah di sini adalah ajaran-Nya berupa Al-Qur’an dan Sunnah (baca: Islam). Di sini nampak bahwa bersatu mentaati ajaran Allah adalah refleksi ketakwaan, dengan kata lain takwa tidak akan tercapai bila seseorang tidak bersungguh-sungguh bersatu seirama menjalankan kewajiban-kewajibannya kepada Allah. Perhatikan redaksi perintah pada kata wa’tashimuu, (bukan redaksi berita) mengapa? Ini menunjukkan pentingnya ajaran tersebut, bahwa umat Islam tidak akan pernah mencapai kejayaannya jika tidak satu barisan menegakkan ajaran Allah.

Kata hablullah artinya ajaran Allah dan Rasul-Nya. Maka hanya dengan mengikuti Allah dan Rasul-Nya persatuan umat Islam akan tercapai. Apapun organisasinya, jika seseorang benar-benar memahami maksud risalah dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah ia tidak akan membangun permusuhan, apalagi antar sesama umat Islam. Sebab persatuan adalah unsur utama bagi tegaknya alam semesta dan kehidupan di muka bumi. Perhatikan Allah menggambarkan kerapian ciptaannya di langit dan di bumi, “(Dialah Allah) Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah” (Al-Mulk: 3-4). Ini menunjukkan bahwa tidak ada sedikit pun dari ciptaan Allah yang tidak bersinergi. Semuanya bersatu dalam satu sistem dan bergerak secara kompak sehingga darinya berlangsung kehidupan di muka bumi. Sungguh seandainya masing-masing wujud di alam ini tidak bersinergi, bisa dipastikan bahwa ia sudah musnah sejak ratusan yang silam.

Benar, persatuan adalah inti keberlangsungan hidup di muka bumi. Karenanya Allah memerintahkan agar manusia bersatu. Tetapi tidak ada persatuan yang kokoh kecuali dengan berpegang teguh kepada tali ajaran-Nya. Selain tali Allah pasti tali setan dan hawa nafsu. Maka segala bentuk perkumpulan yang tidak berpegang pada tali Allah adalah perkumpulan jahiliyah yang penuh permusuhan. Dari saking pentingnya hakikat persatuan di atas tali Allah, Allah swt. pada ayat berikutnya mempertegas kembali dengan berfirman, “Walaa tafarraquu” (dan jangan kau berpecah belah). Sebab hancurnya sebuah persatuan yang pernah ditegakkan, adalah karena perpecahan. Di sini Allah mengingatkan, agar umat Islam jangan hanya sibuk menggalang persatuan, tetapi di saat yang sama juga berusaha menjauhi perpecahan. Mengapa? Sebab ternyata dalam kehidupan sehari-hari begitu banyak organisasi-organisasi umat Islam yang hanya sibuk mengajak persatuan dalam organisasinya sendiri, tetapi di saat yang sama menggalang perpecahan dengan organisasi yang lain. Ini suatu kenyataan yang naif. Sampai kapan kita akan terus sibuk berperang antar kita sendiri? Sementara orang-orang yang memusuhi Islam bersatu untuk menghancurkan umat Islam. Sebuah fakta membuktikan bahwa orang-orang Yahudi yang di luar Israel semuanya bekerja sama untuk membantu saudara-saudara mereka di Israel. Allah berfirman: “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar” (Al-Anfal: 73)

Bersatu Dalam Ikatan Ukhuwah

Lalu Allah berfirman, “Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara”. Ini menunjukkan bahwa semangat bersatu mentaati Allah harus tercermin dalam ikatan ukhuwah yang indah. Sebab persatuan tanpa ukhuwah pasti akan terus digerogoti permusuhan-permusuhan internal yang tidak pernah selesai. Perhatikan dalam ayat ini Allah mengingatkan akan nikmat yang mereka rasakan setelah bersatu dalam ketaatan kepada-Nya, di mana mereka dulu saling membunuh dan bermusuhan hanya karena membela kelompoknya masing-masing. Sejarah merekam bahwa antara suku Aus dan Khazraj –sebelum datangnya Islam- terjadi peperangan berkepanjangan. Dalam diri mereka menyala kebencian. Orang-orang Yahudi yang ada di sana memanfaatkan ruh permusuhan ini untuk kepentingan yang mereka inginkan. Tetapi setelah mereka bersatu dalam ikatan iman dan Islam yang kokoh, mereka benar-benar bersaudara, bahkan persaudaraan itu lebih indah dari persaudaraan dalam ikatan darah. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. setelah mempersaudarakan antara Abdur Rahman (dari kalangan Muhajirin) dan Saad bin Rabi’ (dari kalangan Anshar), Saad serta merta menawarkan kepada Abdur Rahman agar mengambil separuh dari kekayaannya, bahkan lebih dari itu, Saad menawarkan agar menikahi salah seorang dari kedua istrinya dan ia siap menceraikannya (lihat Shahih Bukhari Bab ikhaa’ Nabi 1/553).

Dari sini nampak bahwa ciri utama seseorang setelah beriman dan ber-Islam adalah bersaudara (baca: ukhuwah). Dalam surat Al-Hujurat ayat 10 Allah berfirman: Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. Perhatikan kalimat “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara” (innamal mu’minuuna ikhwatun), kata innamaa menunjukkan makna definitif, artinya setiap orang yang beriman pasti bersaudara, jika tidak maka imannya dipertanyakan. Dengan demikian iman berdasarkan ayat tersebut identik dengan persaudaraan. Karenanya dalam ayat di atas Allah berfirman, “Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan”. Di sini jelas bahwa pada saat mereka tidak punya iman, permusuhan adalah ciri utama kehidupan mereka. Sebaliknya setelah iman masuk ke dalam diri mereka, mereka bersatu dalam persaudaraan.

Lalu Allah berfirman, “Dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya”. Ini menunjukkan bahwa ketika mereka saling bermusuhan, mereka sebenarnya sedang berjalan menuju neraka. Mengapa, sebab ketika seorang mukmin memusuhi orang mukmin yang lain, berarti ia telah menghancurkan nilai persaudaraan yang sebenarnya harus ia capai dengan kualitas keimanannya. Setelah persaudaraannya hancur otomatis keimanannya pun hancur. Dan ketika imannya hancur berarti ia telah menyiapkan dirinya jadi bahan bakar neraka. Di sinilah logika ayat mengapa Allah setelah menggambarkan kondisi mereka dulu di zaman jahiliah di mana mereka dalam permusuhan, mereka sebenarnya sedang berada di tepi jurang neraka dan hampir jatuh ke dalamnya. Untungnya setelah itu mereka beriman, maka dengan iman tersebut mereka lalu bersatu. Dan karenanya mereka selamat, tidak terjatuh ke dalam neraka.

Perhatikan betapa yang harus kita capai setelah beriman adalah bagaimana kita harus bersatu dan bersinergi. Apapun bendera organisasi kita, sepanjang perbedaan yang ada masih di wilayah fiqih, atau mutaghayyiraat, itu adalah perbedaan yang tidak akan pernah bisa dihindari. Sebab para sahabat pun berbeda pendapat dalam hal-hal tertentu yang berkenaan dengan masalah fiqh dan ijtihad, tetapi mereka tetap bersatu. Jadi ayat di atas bukan dalil atas haramnya perbedaan pendapat dalam wilayah fiqih, melainkan ia merupakan dalil atas haramnya perpecahan dan permusuhan antar umat Islam hanya karena dorongan hawa nafsu dan fanatisme golongan semata. Dengan kata lain ketika sekelompok umat Islam memusuhi sekelompok yang lain hanya karena fanatisme golongan, dan perbedaan fiqih, tidak mustahil dari permusuhan ini akan menghantarkan pelakunya kepada jurang neraka, seperti yang Allah gambarkan dalam ayat di atas.

Bersatu Di bawah Naungan Hidayah

Lalu Allah berfirman, “Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. Artinya bahwa ketika suatu kaum benar-benar bersatu menegakkan ajaran Allah, dan mereka benar-benar bersaudara di antara mereka, maka mereka telah berada dalam petunjuk Allah (la’allakum tahtaduun). Jika tidak berarti mereka kembali ke masa jahiliyah yang penuh permusuhan dan perpecahan. Karenanya maksud mengikuti hidayah (petunjuk) dalam Islam, itu bukan hanya semata seseorang menjalani ibadah ritual secara harfiyah, melainkan lebih dari itu ia harus bersaudara dan membangun persatuan.

Sayangnya, yang sering kali terjadi di kalangan umat Islam, persatuan selalu dikorbankan hanya demi perbedaan fiqih dalam ibadah ritual. Ada sekelompok umat Islam memusuhi sekelompok umat Islam yang lain hanya karena satunya shalat tarawih sebelas rakaat dan satunya lagi dua puluh tiga rakaat. Sebagian lagi memusuhi saudaranya hanya karena satunya berhari raya berdasarkan hisab, dan satunya berhari raya berdasarkan ru’yah. Padahal masing-masing sama-sama mempunyai dalil yang kuat. Artinya seandainya masing-masing segera menyadari bahwa itu adalah wilayah fiqih, lalu mereka bersepakat untuk menentukan sikap yang membangun persatuan, itu sungguh lebih baik dan lebih tepat secara syariah. Sebab mempertahankan persatuan adalah wajib, sementara shalat tarawih atau pun shalat hari raya hanyalah sunnah. Artinya seandainya mereka tidak shalat tarawih atau tidak shalat hari raya pun tidak apa-apa, ketimbang mereka malah saling bermusuhan hanya karena masalah yang sunnah tersebut. Inilah rahasia mengapa Allah menutup ayatnya dengan kalimat “la’allakum tahtaduun”, sebab hanya dengan mempertahankan persatuan di atas ajaran Allah, dan menegakkan persaudaraan sesama iman, seseorang akan merasakan lezatnya hidayah Allah. Wallahu a’lam

Berpikirlah Sejak Anda Bangun Tidur

Berpikirlah Sejak Anda Bangun Tidur



HARUN YAHYA


Tidak diperlukan kondisi khusus bagi seseorang untuk memulai berpikir. Bahkan bagi orang yang baru saja bangun tidur di pagi hari pun terdapat banyak sekali hal-hal yang dapat mendorongnya berpikir.

Terpampang sebuah hari yang panjang dihadapan seseorang yang baru saja bangun dari pembaringannya di pagi hari. Sebuah hari dimana rasa capai atau kantuk seakan telah sirna. Ia siap untuk memulai harinya. Ketika berpikir akan hal ini, ia teringat sebuah firman Allah:

"Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha." (QS. Al-Furqaan, 25: 47)

Setelah membasuh muka dan mandi, ia merasa benar-benar terjaga dan berada dalam kesadarannya secara penuh. Sekarang ia siap untuk berpikir tentang berbagai persoalan yang bermanfaat untuknya. Banyak hal lain yang lebih penting untuk dipikirkan dari sekedar memikirkan makanan apa yang dipunyainya untuk sarapan pagi atau pukul berapa ia harus berangkat dari rumah. Dan pertama kali ia harus memikirkan tentang hal yang lebih penting ini.

Pertama-tama, bagaimana ia mampu bangun di pagi hari adalah sebuah keajaiban yang luar biasa. Kendatipun telah kehilangan kesadaran sama sekali sewaktu tidur, namun di keesokan harinya ia kembali lagi kepada kesadaran dan kepribadiannya. Jantungnya berdetak, ia dapat bernapas, berbicara dan melihat. Padahal di saat ia pergi tidur, tidak ada jaminan bahwa semua hal ini akan kembali seperti sediakala di pagi harinya. Tidak pula ia mengalami musibah apapun malam itu. Misalnya, kealpaan tetangga yang tinggal di sebelah rumah dapat menyebabkan kebocoran gas yang dapat meledak dan membangunkannya malam itu. Sebuah bencana alam yang dapat merenggut nyawanya dapat saja terjadi di daerah tempat tinggalnya.

Ia mungkin saja mengalami masalah dengan fisiknya. Sebagai contoh, bisa saja ia bangun tidur dengan rasa sakit yang luar biasa pada ginjal atau kepalanya. Namun tak satupun ini terjadi dan ia bangun tidur dalam keadaan selamat dan sehat. Memikirkan yang demikian mendorongnya untuk berterima kasih kepada Allah atas kasih sayang dan penjagaan yang diberikan-Nya.

Memulai hari yang baru dengan kesehatan yang prima memiliki makna bahwa Allah kembali memberikan seseorang sebuah kesempatan yang dapat dipergunakannya untuk mendapatkan keberuntungan yang lebih baik di akhirat. Ingat akan semua ini, maka sikap yang paling sesuai adalah menghabiskan waktu di hari itu dengan cara yang diridhai Allah.

Sebelum segala sesuatu yang lain, seseorang pertama kali hendaknya merencanakan dan sibuk memikirkan hal-hal semacam ini. Titik awal dalam mendapatkan keridhaan Allah adalah dengan memohon kepada Allah agar memudahkannya dalam mengatasi masalah ini. Doa Nabi Sulaiman adalah tauladan yang baik bagi orang-orang yang beriman: "Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri ni'mat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh" (QS. An-Naml, 27 : 19)

Bagaimana kelemahan manusia mendorong seseorang untuk berpikir?Tubuh manusia yang demikian lemah ketika baru saja bangun dari tidur dapat mendorong manusia untuk berpikir: setiap pagi ia harus membasuh muka dan menggosok gigi. Sadar akan hal ini, ia pun merenungkan tentang kelemahan-kelemahannya yang lain. Keharusannya untuk mandi setiap hari, penampilannya yang akan terlihat mengerikan jika tubuhnya tidak ditutupi oleh kulit ari, dan ketidakmampuannya menahan rasa kantuk, lapar dan dahaga, semuanya adalah bukti-bukti tentang kelemahan dirinya.

"Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa." (QS. Ar-Ruum, 30: 54)

Bagi orang yang telah berusia lanjut, bayangan dirinya di dalam cermin dapat memunculkan beragam pikiran dalam benaknya. Ketika menginjak usia dua dekade dari masa hidupnya, tanda-tanda proses penuaan telah terlihat di wajahya. Di usia yang ketigapuluhan, lipatan-lipatan kulit mulai kelihatan di bawah kelopak mata dan di sekitar mulutnya, kulitnya tidak lagi mulus sebagaimana sebelumnya, perubahan bentuk fisik terlihat di sebagian besar tubuhnya. Ketika memasuki usia yang semakin senja, rambutnya memutih dan tangannya menjadi rapuh.


Bagi orang yang berpikir tentang hal ini, usia senja adalah peristiwa yang paling nyata yang menunjukkan sifat fana dari kehidupan dunia dan mencegahnya dari kecintaan dan kerakusan akan dunia. Orang yang memasuki usia tua memahami bahwa detik-detik menuju kematian telah dekat. Jasadnya mengalami proses penuaan dan sedang dalam proses meninggalkan dunia ini. Tubuhnya sedikit demi sedikit mulai melemah kendatipun ruhnya tidaklah berubah menjadi tua. Sebagian besar manusia sangat terpukau oleh ketampanan atau merasa rendah dikarenakan keburukan wajah mereka semasa masih muda.


Pada umumnya, manusia yang dahulunya berwajah tampan ataupun cantik bersikap arogan, sebaliknya yang di masa lalu berwajah tidak menarik merasa rendah diri dan tidak bahagia. Proses penuaan adalah bukti nyata yang menunjukkan sifat sementara dari kecantikan atau keburukan penampilan seseorang. Sehingga dapat diterima dan masuk akal jika yang dinilai dan dibalas oleh Allah adalah akhlaq baik beserta komitmen yang diperlihatkan seseorang kepada Allah.

Setiap saat ketika menghadapi segala kelemahannya manusia berpikir bahwa satu-satunya Zat Yang Maha Sempurna dan Maha Besar serta jauh dari segala ketidaksempurnaan adalah Allah, dan iapun mengagungkan kebesaran Allah. Allah menciptakan setiap kelemahan manusia dengan sebuah tujuan ataupun makna. Termasuk dalam tujuan ini adalah agar manusia tidak terlalu cinta kepada kehidupan dunia, dan tidak terpedaya dengan segala yang mereka punyai dalam kehidupan dunia. Seseorang yang mampu memahami hal ini dengan berpikir akan mendambakan agar Allah menciptakan dirinya di akhirat kelak bebas dari segala kelemahan.

Segala kelemahan manusia mengingatkan akan satu hal yang menarik untuk direnungkan: tanaman mawar yang muncul dan tumbuh dari tanah yang hitam ternyata memiliki bau yang demikian harum. Sebaliknya, bau yang sangat tidak sedap muncul dari orang yang tidak merawat tubuhnya. Khususnya bagi mereka yang sombong dan membanggakan diri, ini adalah sesuatu yang seharusnya mereka pikirkan dan ambil pelajaran darinya.